PENYIMPANGAN PERILAKU PEMUDA MINANGKABAU DI PANDANG DARI SEGI BUDAYA DAN ADAT MINANGKABAU


OLEH: AHMAD ZAKKY SEBAGAI SYARAT CALON WARGA ASRAMA MAHASISWA MERAPI SINGGALANG TAHUN 2008

Kata Pengantar

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia Nya kepada kita semua, sehingga sampai saat ini kita masih dalam keadaan sehat dan masih bisa melaksanakan segala perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya. Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari dunia yang tidak berilmupengetahuan kepada dunia yang berilmupengetahuan dan berpendidikan seperti yang kita rasakan pada sekarang ini.

Terimakasih penulis ucapkan atas semua pihak yang ikut terlibat dalam pembuatan makalah ini. Terimakasih atas bantuan kakak-kakak dan teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Terimakasih atas kesabaran “uda-uda” yang rela meluangkan waktunya yang berharga untuk mengoreksi makalah penulis ini. Terimakasih atas segala fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Terima kasih atas masukan dan saran yang diberikan kepada kami sebagai calon anggota baru Asrama Mahasiswa Merapi Singgalang secara umum dan kepada penulis secara khusunya untuk menyelesaikan makalah ini. Dan terimakasih atas teman-teman yang sepenanggungan dengan penulis, angkatan 2008 ini yang baik secara langsung atau tidak langsung telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Dan tidak lupa kepada semua pihak yang tidak tersebutkan namanya yang berkontribusi baik secara langsung tau tidak langsung dalam menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini menceritakan tentang bagaimana suatu tatanan kehidupan baru yang jauh dari nilai budaya dan adat Minangkabau yang mengancam kelangsungan dari budaya dan adat Minangkabau itu sendiri. Maka tidak menutup kemungkinan bahwa anak cucu kita tidak dapat lagi mengetahui dan menikmati budaya dan adat Minangkabau. David Chanei, seorang profesor Sosilologi di Univesitas Durham dalam bukunya yang berjudul Lifestyle Sebuah pengantar Komprehensif (Jalasutra 2003) pernah berargumen, bahwa gaya hidup merupakan ciri sebuah tatanan dunia modern, atau disebut dengan istilah modernitas. Dari asumsi itu jelas terkandung pengertian yang kita serap bahwa siapapun yang hidup dalam dunia modern hari ini, akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri ataupun orang lain.
Dengan meminjam pandangan almarhum Prof. Umar Kayang,”seni dan budaya harus dimaknai sebagai kata kerja, bukan kata benda. Seni dan budaya harus hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai dinamika masyarakatnya”. Jadi, apapun kondisi masyarkat saat ini, kita harus tetap menjaga budaya dan adat Minangkabau.

Penulis berharap agar makalah ini tidak hanya dilihat sebagai patokan atau sebagai syarat untuk menjadi anggota baru Asrama Mahasiswa Merapi Singgalang tahun 2008, namun agar pembaca dan pendengar dapat mengambil hal-hal positif yang ada dalam makalah ini dan meninggalkan hal-hal negatif yang mungkin saja ada dalam makalah ini.

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Melihat dari kondisi sekarang ini yang semakin parah dan mulainya pudarnya pemahaman budaya dan adat Minangkabau, penulis merasa prihatin. Kita tak bisa lagi mungkir atau mengelak dari realitas yang ada, sebuah kenyataan betapa orang muda Minang hari ini telah mengalami suatu masa perubahan corak dan lagak gaya hidup. Saat ini, di mana terjadi pergeseran nilai secara besar-besaran, gaya hidup serba digital dan instan sangat cepat merasuki tatanan hidup masyarakat dunia tidak terkecuali masyarakat Sumatera Barat (Baca orang muda Minang). Sebuah kekuatan hebat telah menjelma, ketika televisi telah memainkan perannya hingga ke pelosok taratak, membuat mata orang muda Minang terkesima, maka paruh-paruh industri pun mencengkram dengan kuatnya. Sehingga sebuah contoh sederhana, betapa hal yang tidak mengherankan ketika model baju terbuka yang memperlihatkan bentuk dan keindahan tubuh menjadi pusat mode (trensenter), meski bertentangan dengan adat yang bersandikan syarak kitabullah, namun apa dikata, model dan gaya hidup yang disodorkan kotak ajaib yang bernama televisi ini seperti tuhan yang selalu dipuja-puja. Mengapa gaya hidup semakin penting hari ini, apakah gaya hidup itu berarti ekspresi yang mengandung muatan positif, ataukah sebuah bentuk eksploitasi baru?

Melihat pudarnya budaya dan adat Minangkabau diantara masyarakat Sumatera Barat (Baca orang muda Minang) itu sendiri, tentu perlu kita ketahui apa yang menyebabkan hal itu dapat terjadi. Adat tidak lagi dijadikan sebagai landasan kehidupan bermasyarakat. Wibawa ninik mamak sebagai pemangku adat sudah lama hilang, beliau tidak dapat lagi mangabek arek mamancang patuih, ka pai tampek batanyo ka pulang tampek babarito.

Dengan melihat berbagai kenyataan yang terjadi pada saat ini sehingga penulis mengangkat tema mengenai pergaulan dipandang dari segi budaya dan adat minangkabau. Apabila kenyataan ini tetap saja dipertahankan tanpa ada tindakan yang berarti dari pemimpin daerah dan pemangku adat, maka tidak menutup kemungkinan bahwa pada masa yang akan datang, kita akan menjumpai anak cucu kita yang tidak mengenal lagi budaya dan adat Minangkabau karena mereka tidak menemui lagi budaya dan adat nenek moyang mereka.

2. Tujuan

Makalah ini dibuat dengan berbagai tujuan. Secara teoritis, makalah ini merupakan syarat untuk menjadi anggota baru Asrama Mahasiswa Merapi Singgaang 2008 yang mana merupakan bagian dari pelbagai syarat yang diberikan guna menjadi anggota baru Asrama Mahasiswa Merapi Singgalang tahun 2008.

Namun secara tidak langsung, penulis bermaksud mengajak pembaca dan pendengar untuk memahami isi makalah ini dan sekiranya dapat menjalankan beberapa amanat yang terkandung dalam makalah ini. Penulis berharap agar pembaca, pendengar, dan bahkan penulis sendiri untuk dapat melestarikan budaya dan adat Minangkabau yang terancam akan kepunahan oleh pengaruh budaya lain dan kurangnya kesadaran pada diri kita semua untuk menjaga milik kita sendiri, hasil dari pemikiran pendahulu kita, dan bahkan merupakan identitas kita semua sebagai masyarakat Minangkabau. Jika kita melupakan hal ini maka secara tidak langsung kita telah melupakan dari mana kita berasal dan melupakan pendahulu kita.

BAB II ISI

1. Asal Mula Minangkabau

Sebelum kita mengetahui tentang bagaimana Minangkabau(Sumatera Barat), alangkah baiknya kita terlebih dahulu mengenal asal terbentuknya Minangkabau, kampuang nan jauah di mato, gunuang sansai bakuliliang.

Minangkabau adalah suatu lingkungan adat yang terletak dalam daerah geografis administratif Sumatera Baratdan juga mencangkau sebagian barat daerah geografis administratif propinsi Riau, dan ke sebagian barat daerah administratif propinsi Jambi. Pada mulanya, yang masuk wilayah sosial kultural Minangkabau hanyalah tiga luhak (sekarang jadi daerah tingkat II) yaitu Luhak Agam, Luhak Tanah Datar, dan Luhak Lima Puluh Kota yang disebut Minangkabau asli. Akan tetapi dalam perkembangannya wilayah Minangkabau meluas sampai ke luar tiga luhak tersebut yang disebut Daerah Rantau. Rantau luhak Agam meliputi pesisir barat sejak Pariaman sampai Air Bangis, Lubuk Sikaping, dan Pasaman; Rantau luhak Lima Puluh Kota neliputi Bangkinang, Lembar Kampar Kiri dan Kampar Kanan dan Roka; rantau luhak Tanah Datar meliputi Kubung Tiga Belas, pesisir barat dari Padang sampai Indra Pura, Kerinci dan Muara Labuh. Wilayah Minangkabau asli ditambah Daerah Rantau itulah yang secara geografis meliputi seluruh wilayah propinsi Sumatera Barat dan sebagian wilayah propinsi Riau dan Jambi.

Nenek moyang suku bangsa Minangkabau berasal dari percampuran antara bangsa Melayu Tua yang telah datang pada zaman Neolitikum dengan bangsa Melayu Muda yang menyusul kemudian pada zaman Perunggu. Kedua bangsa ini adalah serumpun dengan bangsa Astronesia. Kelompok pengembara Astronesia yang meninggalkan kampung halamannya dibagian Hindia,menuju ke selatan mencari daerah baru untuk kehidupan mereka. Dalam rangka pencarian tanah baru itu, setelah mereka mendarat di pantai timur Sumatera, bergerak ke arah pedalaman pulau Sumatera sampai ke sekitar gunung Merapi. Karena di sana mereka telah mendapatkan tanah subur di lereng gunung Merapi, mereka menetap dan membangun negeri pertama yaitu Pariangan Padang Panjang. Setelah kemudian mereka berkembang, maka berdirilah negeri-negeri di selingkungan gunung Merapi dan sealiran Batang Bengkaweh.

Nama Minangkabau berasal dari kata manang kabau yang menurut Tambo, ucapan itu muncul setelah kerbau milik kerajaan Pagaruyung yang dipimpin oleh Bundo Kanduang dapat memenangkan pertarungan melawan kerbau miliki musuh yang datang menyerang.

Menurut A.A Nafis cerita yang dikisahkan Tambo itu sangat dipercayai oleh orang Minangkabau sebagai peristiwa sejarah. Akan tetapi para penulis yang bukan orang Minangkabau pada umumnya tidak menerima asal nama Minangkabau seperti yang dikisahkan Tambo itu. Mereka umumnya lebih suka mencari sumbernya dari bahasa-bahasa yang hidup di India. Van de Tuuk umpamanya, mengatakan asal kata Minangkabau dari Phinang khabu yang artinya tanah asal. Muhammad Hussein Nainar mengatakan asal katanya menon khabu yang artinya tanah mulia. Dikemukakan juga bahwa kata itu berasal bahasa Srilangka “mau angka bahu” yang artinya memerintah.

2. Masuknya Islam

Menurut para ahli, Islam masuk dan berkembang di Minangkabau melalui tiga tahap:

a) Melalui para saudagar Islam yang berkunjung ke Minangkabau dan menyiarkannya secara diam-diam dan tak terencana. Diperkirakan para pedagang Persia, Arab, dan Gujarat telah banyak mendatangi Minangkabau abad ke VII atau awal abad ke VIII M.

b) Melalui pengaruh dan kekuasaan Aceh di pesisir barat Minangkabau yang menyiarkan agama agak terencana. Aceh adalah satu bagian pulau Sumatera yang lebih dulu masuk Islam. Abad ke XV M, seluluruh pesisir barat Minangkabau telah berada di bawah pengaruh politik dan ekonomi Aceh. Pada masa itulah terjadi pengislaman secara besar-besaran dan terencana terhadap Minangkabau dimulai dari daerah pantai terus masuk ke pedalaman. Karan daerah pedalaman terletak pada daerah yang lebih tinggi, maka dalam pepatah adat dikatakan “syarak mandaki, adat manurun”. Maksudnya, agama menyebar dari daerah pesisir ke pedalaman, sedangkan adat dari daerah pedalama ke daerah pesisir.

c) Melalui penguasa Minangkabau sendiri yang menyiarkannya secara teratur dan terencana. Hal ini terjadi setelah raja Anggawarman Mahadewa memeluk Islam dan menganti namanya denga Sultan Alif dan dengan demikian secara resmi Islam telah masuk Istana Pagaruyuang. Dengan berkuasanya Islam di istana raja, besar sekali penegaruhnya terhadap perkembangan Islam di Minangkabau dan diperkirakan pada abad ke XV M seluruh rakyat Minangkabau resmi memeluk Islam.

3. Perbenturan Adat dan Islam

Perbenturan yang berarti antara adat Minangkabu dengan Islam terjadi di bidang sosial, khususnya yang menyangkut sistem kekerabatan yang menentukan bentuk perkawinan, kediaman, dan pergaulan. Dalam sistem kekerabatan, adat Minangkabau bersifat matrilineal (menurut garis ibu), sedangkan Islam bersifat patrilineal (menurut garis bapak). Dalam menentukan tempat tinggal suami-istri, adat Minangkabau menganut sistem matrilokal (suami tinggal di rumah istri), sedangkan dalam Islam bersifat patrilokal (istri tinggal di rumah suami).

Dalam adat Minangkabau, yang berkuasa dan bertanggung jawab dalam sebuah rumah tangga adalah ibu yang didampingi oleh mamak (saudara laki-laki ibu), sedangkan ayah hanya sebagai tamu. Sedangkan dalam Islam pemegang kekuasaan dan penanggung jawab dalam rumah tangga adalah ayah atau suami.
Penyesuaian antara adat dalam Islam dalam aspek yang disebutkan di atas berlangsung lama dan pelan-pelan yang dilakukan dengan tiga tahap:

a) Adat dan syara’ berjalan sendiri-sendiri tanpa saling mempengaruhi. Dalam bidang aqidah dan ibadah masyarakat Minangkabau mengikuti Islam, dalam bidang sosial, adat masih diikuti. Tahap ini dinyatakan dalam ucapan “Adat basandi alua jo patuik, syara’ basandi dalil”.

b) Adat dan syara’ sama-sama saling membutuhkan tanpa menggeser kedudukan masing-masing. Tahap ini tercermin dalam pepatah “adat basandi syara’, syara’ basandi adat”.

c) Adat hanya boleh diikuti dan diberlakukan bila bersesuaian dengan ajaran agama Islam. Tahap ini yang merupakan tahap terakhir tergambar dalam rumusan “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato, adat mamakai”.

Masalah warisan yang turun kepada pihak perempuan ditentang oleh beberapa orang. Misalnya Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, pelopor dan guru para pembaharu ajaran Islam di Minangkabau terkenal sebagai penentang keras sistem kewarisan adat Minangkabau. Hamka juga dikenal sebagai ulama yang kritis terhadap adat Minangkabau.

Dalam keunikan adat Minangkabau, perempuan menempati kedudukan istimewa. Sistem matrilineal, matrilokal dan sistem kewarisan menjadi bukti keistimewaan kedudukan kaum perempuan. Sekalipun kaum ibu memiliki kedudukan yang istimewa dalam rumah tangga dan juga harta pusaka, akan tetapi dia tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap rumah dan harta pusaka itu, karena kaum laki-laki seperti saudara laki-laki yang disebut mamak mempunyai hak pengawasan, apalagi dalam melakukan hubungan perdata dengan pihak lain, tidak dapat terlaksana tanpa seizin mamak. Semua tindakan terhadap harta pusaka, baik ke dalam maupun ke luar haruslah berdasarkan mufakat seluruh anggota laki-laki dan perempuan.

Dalam hal ini terlihat jelas bahwa Adat dan Islam dapat saling melengkapi walaupun secara teoritis terdapat perbedaan prinsip, namun tetap memiliki prinsip dasar yang sama. Jadi, kenapa Islam dan adat harus dipisahkan? Kenapa kehidupan masyarakat Minangkabau terutama anak mudanya menjauhi prinsip kehidupan adat dan kehidupan Islam? Karena sesungguhnya masyarakat yang mengaku sebagai orang Minangkabau namun bukan Islam dan bertentangan dengan adat adalat “Bukan Orang Islam”.

4. Penyimpangan Perilaku Masyarakat Minangkabau dalam keterkaitannya dengan Adat Minangkabau

Beberapa waktu belakangan ini, banyak perilaku menyimpang yang ditunjukkan masyarakat Minangkabau pada umumnya dan remaja Minangkabau pada khususnya, antara lain:

1) Perempuan menjadi pelacur dan anak-anak menjadi terlantar atau anak jalanan. Data terakhir pelacur yang di rehabilitasi di Panti Sosial Andam Dewi Solok 90% diantaranya adalah perempuan Minangkabau.

2) Anak jalanan yang kian hari kian bertambah, diberbagai tempat umum di kota-kota Sumatra Barat, kemanakah perginya falsafah “anak dipangku kemenakan dibimbing?” Apalagi yang menjadi anak jalanan tersebut anak perempuan, yang pada merekalah keberlangsungan sistem matrilineal ini digantungkan.

3) Lebih lanjut model berpakaian anak-anak remaja Minangkabau yang secara normatif jauh dari budaya dan adat Minangkabau. Dimana-mana kita dapat melihat anak perempuan berpakaian ketat dan terbuka, tidak hanya di tempat hiburan tetapi juga di tempat umum dan kampus-kampus. Kondisi ini mencerminkan longgarnya kontrol keluarga dan sosial. Dan tidak suatu Iembaga atau organisasi wanita yang mampu menjaring (merazia pakaian bikini/ketat ini) kalau ada hanya sebatas wacana. Lalu dimanakah letaknya Adat Basandi Syara’-Syarak Basandi Kitabullah? Bahwa perempuan Minangkabau itu ka unduang-unduang ka Madinah ka payuang panji ka sarugo.

Demikian juga halnya dengan pakaian jilbab, jilbab atau pakaian atau pakaian muslimah akhirnya tidak lebih sekedar mode yang membentuk pasar potensial baru, sebab itu dibarengi dengan baju yang ketat dan celana yang sempit hingga menampakkan pusar. Kemana perginya lembaga dan organisasi kewanitaan masyarakat Minangkabau? Tidakkah hal ini termasuk dalam program pemberdayaan perempuan?.

4) Satu hal lagi realitas perempuan Minangkabau saat ini adalah meningkatnya tindak kekerasan dan perkosaan terhadap anak perempuan. Bahkan disinyalir tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumatra Barat tahun 2005 menduduki peringkat tertinggi di Indonesia. Baik pencabulan, pelecehan seksual, penganiayaan dan perkosaan, umumnya anak berusia 4-12 tahun (di bawah umur). Yang lebih memprihatinkan lagi umumnya pelaku adalah orang yang dekat dengan korban. Jika dilihat lebih lanjut umumnya terjadi pada lingkungan terdekat seperti di rumah, tempat bermain, sekolah bahkan tempat mengaji.

5) Peran politik perempuan Minangkabau saat ini juga masih relatif jauh dari apa yang diamanatkan di dalam adat, yaitu bahwa perempuan adalah pemimpin yang cerdik pandai. Di dalam keluarga masih relatif banyak perempuan Minangkabau yang belum berperan secara politis, apakah sebagai tempat bertanya, pemberi solusi, pengambil keputusan dan lain-lain.

Secara lebih khusus peran politik perempuan Minangkabau dalam pemerintahan masih relatif rendah. Kedudukan perempuan yang kuat secara politis sebagai pengambil keputusan tidak relevan dengan kenyataan dalam kehidupan politik di nagari saat ini. Sejauh ini perempuan lebih banyak terlibat dalam kegiatan sosial di nagari. Sementara dalam musyawarah dan pengambilan keputusan yang berkait dengan kehidupan lainnya seperti tanah ulayat, pembangunan, sering kali diputuskan dalam rapat adat yang hanya diikuti oleh laki-laki.

6) Perempuan Minangkabau sebagian besar tidak lagi berada pada posisi yang ideal menurut adat. Hampir seluruh modal sosial, budaya dan modal ekonominya relatif tidak lagi memberi manfaat bagi keberlangsungan kehidupan dan kualitas peran Minangkabau menghadapi berbagai persoalan yang khas karena sistem matrilinealnya.

Meskipun data menunjukkan bahwa siswa dan mahasiswa yang berprestasi di Sumatra Barat pada umumnya adalah perempuan, aset yang sangat potensial ini belum mendapat ruang yang cukup untuk memberi manfaat bagi perbaikan kehidupan perempuan Minangkabau dalam pembangunan.

7) Banyaknya masyarak Minangkabau terutma para remaja yang tidak lagi mengenal adat, sopan santun, dan tata krama dalam adat Minangkabau.

8) Dan berbagai penyimpangan lainnya yang tidak tersebutkan dan /atau telah menjadi rahasia umum yang telah diketahui orang banyak dan kita hanya “menutup mata” atas masalah ini.
Dari data tersebut, tentu kita dapat melihat “bobroknya” budaya dan adat Minangkabau saat ini. Dalam kasus ini dapat disimpulkan sebagai penyebabnya, antara lain:

1) Kurangnya figur yang dapat diangkat menjadi pemangku adat, hal tersebut dikarenakan terbukanya kesempatan merantau sehingga pemuda-pemuda Minangkabau pada tumpah ruah ke rantau orang. Jadi tidak banyak pilihan yang dapat dilakukan untuk memilih calon pemangku adat atau calon penghulu. Namun lain lagi halnya apabila pemuda-pemuda kembali ke kampung halam untuk memajukan kampung halaman.

2) Tidak adanya persiapan atau pengkaderan terhadap calon-calon pemangku adat atau penghulu tidak mempunyai persiapan yang cukup, malah ada yang tidak punya sama sekali persiapan ilmu pengetahuan tentang adat serta kesiapan pribadi sebagai “figure” seorang pemimpin yang siap menjadi teladan dalam masyarakat.

3) Pesatnya kemajuan bidang teknologi, sehingga jarak kota besar dengan daerah sudah sangat dekat, apa saja yang terjadi di belahan dunia lain dapat disaksikan pada detik yang sama dari pelosok-pelosok di ranah Minang. Hal itu sangat berpengaruh terhadap pola kehidupan bermasyarakat di ranah Minang.

4) Pergeseran nilai budaya Minangkabau menjadi nilai budaya yang “kebarat-baratan’ yang men”Tuhan”kan kebebasan. Tapi kebebasan yang bagaimana? Yaitu kebebasan yang bebas tanpa batas. Baru-baru ini peristiwa yang menghebohkan di Padang, Sumatera Barat. Rencananya akan diadakan suatu lemba yang mengusung seberani apa wanita muda Minangkabau untuk menggunakan celana sependek mungkin di tempat umum. Untung saja renca ini segera “terendus” oleh Dinas Kota Padang dan MUI Padang sehingga hal-hal yang tidak diinginkan seperti ini tidak terjadi.

5) Berubahnya pola ketatanegaraan, yaitu keluarnya UU no. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Dimana nagari Sumatera Baraty berubah menjadi desa yang mengakibatkan lumpuhnya fungsi dan peran ninik mamak ditengah-tengah anak buah atau masyarakat dalam nagari, beliau tidak lagi sebagai raja kecil dalam kaumnya, beliau tidak lagi diajak bermusyawarah dalam membicarakan kampung jo nagari. Belakangan memang pemerintah mengeluarkan Perda no. 13 tahun 1983 tentang nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Adat di Propinsi Sumatera Barat . Hal tersebut tidak merubah situasi, karena dianggap sebagai bujuak mampagadang tangih, ubek lakeh pantang talampau babaliak panyakik lamo.Pada akhirnya pemerintah mengeluarkan UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan diimplementasikan oleh pemerintah Sumatera Barat dengan Perda no. 9 tahun 2000.

Perda no. 9 tahun 2000 pasal 1 huruf g berbunyi : Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam daerah propinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu batas-batasnya, mempunyai harta kekayaan sendiri, berhak mengatur dan memngurus rumah tangganya dan memilih pimpinan pemerintahannya dan pada huruf I : Pemerintah Nagari adalah satuan pemerintahan otonomi daerah berdasarkan asal usul di nagari dalam daerah propinsi Sumatera Barat yang berada dalam system pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pasal-pasal diatas otonomi daerah sebenarnya bertumpu kepada kultur adat serta budaya daerah itu sendiri, dan nagari adalah sebagai terminal terakhir dari struktur pemerintahan, yang bertugas manyauak dan mambasuik dari bumi melalui ninik mamak sebagai pemerintahan non formal, dan manampuang yang titik dari langit/dari ateh yaitu dari pemerintahan sebagai pemerintahan formal dengan undang-undangnya. Namun dalam kenyataan dan pelaksanaanya, hal tersebut hanya sebagai wacana saja, ninik mamak dan pamangku adat di nagari yang tumbuhnyo ditanam dan gadangnyo diambah, dan didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting, ka pai tampek batanyo ka pulang katampek babarito, hanya tinggal sebagai penonton saja. Dia tidak obahnya seperti orang yang ketinggalan kereta, yang tebengong-bengong di stasiun tidak tau arah yang ditempuh. Seperti kita ketahui, bahwa hubungan antara penghulu / ninik mamak dengan adat sangatlah erat kaitannya, apabila adat itu kuat, maka kuat pulalah kedudukan penghulu atau ninik mamak itu. Apabila penghulu itu tidak berwibawa, maka masyarakat akan meremehkan pula peraturan adat, sebaliknya bila penghulu berwibawa, maka masyarakat akan patuh pula menjalankan peraturan adat. Karena penghulu / ninik mamak berkewajiban menjaga dan mengawasi pelaksanaan aturan adat agar dijalankan dan dipatuhi oleh anggota kaumnya atau masyarakat dalam nagari.

Untuk itu, hal yang harus kita lakukan adalah dengan mengenal budaya dan adat kita sendiri. Dengan begitu kita akan mengenal budaya kita sendiri, dengan kita mengenal budaya dan adat sendiri maka kita akan mencintai itu semua.

Dengan meminjam isi novel karangan Michael Dibbi, Dead Lagoon:”Tidak ada kawan sejati tanpa musuh sejati. Jika kita tidak mampu membenci apa yang kita benci, kita tidak akan mampu mencintai apa yang kita cintai. Itulah kebenaran-kebenaran masa lalu, yang secara menyedihkan kembali kita bangkitkan setelah terpendam selama satu abad bahkan dalam bentuk yang lebih sentimental. Barangsiapa yang mengingkari semua itu, berarti mengingkari nenek-moyang, warisan, kebudayaan, dan bahkan kelahiran mereka sendiri, milik mereka sendiri! Semua itu tak mungkin dapat terlupakan”.

Selain itu kita memerlukan model-model baik (panutan) yang bersifat eksplisit maupun implisit supaya dapat:

  1. Mengatur dan menggeneralisasikan realitas;
  2. Memahami hubungan-hubungan kausal di antara berbagai fenomena;
  3. Melakukan antisipasi dan, jika kita beruntung, melakukan prediksi terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi di masa yang akan datang;
  4. Memilah-milah mana yang penting dan yang mana yang tidak penting; dan
  5. Menempuh jalan yang memungkinkan kita untuk mencapai tujuan-tujuan itu;

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan

Semakin parahnya kondisi pergaulan masyarakat Minangkabau (baca orang muda Minang) sangat membahayakan posisi budaya dan adat Minangkabau. Maka mungkin saja

Dengan meminjam pemikiran dari Samuel P. Huntington,”masa depan politik dunia akan didominasi oleh konflik antar bangsa dengan peradaban yang berbeda. Sumber konflik dunia di masa datang tidak lagi berupa ideologi atau ekonomi, akan tetapi budaya. Konflik tersebut pada gilirannya menjadi gejala terkuat yang menggantikan polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan dengan runtuhna politik mayoritas negara-negara Eropa Timur”. Dari pemikiran beliau tersebut terlihat jelas bahwa budaya-budaya di dunia akan saling berbenturan. Apabila budaya dan adat Minangkabau tidak diperkuat “anak daerah”nya sendiri, maka dapat dipastikan bahwa budaya dan adat minangkabau akan terlindas oleh pengaruh budaya Barat yang memamerkan kecanggihan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi.

Apalagi budaya dan adat Minangkabau yang “berdampingan” dengan Islam. Masih meminjam pemikiran dari Samuel P. Huntington,”Dunia masa datang bukan di antara kedelapan peradaba tersebut (Barat, Kontisius, Jepang Islam, Hindu, Slavik, Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika), tetapi antara Barat dan peradaban lainnya. Sedangkan potensi konflik paling besar yang akan terjadi adalah antara Barat dan koalisi Islam-Konfusius”. Secara tidak langsung, budaya dan adat Minangkabau yang “berdampingan” dengan Islam akan terkena imbas dari invasi ekonomi, politik, dan budaya Barat terhadap Islam. Dampaknya akan terjadi “kematian budaya” Minangkabau.

Dari uraian di atas terlihat nyata bahwa perlu suatu tindakan yang nyata dan membangun guna mengembalikan budaya dan adat Minangkabau agar anak cucu kita dapat menikmati sejarah dan budaya Minangkabau yang indah ini. Untuk itu perlunya pasrtisipasi pemerintah daerah dan pemuda-pemuda Minang guna memelihara adat dan budaya Minangkabau baik dengan kegiatan secara langsung ataupun secara tidak langsung.

2. Saran

Terimakasih atas pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk mencapai suatu hal sempurna adalah hal yang tidak mungkin karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Namun kita hanya dapat membuat sesuatu yang mendekati sempurna. Untuk itu perlu saran dari pembaca guna memperbaiki makalah ini guna mencapai suatu makalah yang mendekati sempurna.

Dan bagi pembaca baik yang berdomisili di Sumatera Barat, baik yang memiliki garis keturunan langsung,tidak memiliki garisi langsung dari Minangkabau, maupun msyarakat yang peduli dengan budaya dan adat Minangkabau agar dapat melakukan sesuatu yang berguna untuk mencegah terjadinya kepunahan budaya dan adat Minangkabau demi anak cucu kita kelak.

DAFTAR PUSTAKA

About admin

asrama mahasiswa sumatera barat merapi singgalang yogyakarta

Posted on 14 Agustus 2008, in Makalah Mersi-BK 2008. Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. Thank`s atas segalanx……
    Bye……….

Tinggalkan komentar