SOSIAL BUDAYA MINANGKABAU


Oleh: Dr. Yunahar Ilyas. Lc, MA.

Asal Mula

Minangkabau adalah suatu lingkungan adat yang terletak dalam daerah geografis administratif Sumatera Barat dan juga menjangkau ke sebagian barat daerah geografis administratif provinsi Riau, dan ke sebagian barat daerah administratif provinsi Jambi. Pada mulanya, yang masuk wilayah sosial kultural Minangkabau hanyalah tiga luhak (sekarang jadi daerah tingkat II) yaitu Luhak Agam, Luhak Tanah Datar, dan Luhak Lima Puluh Kota yang disebut Minangkabau asli. Akan tetapi dalam perkembangannya wilayah Minangkabau meluas sampai ke luar tiga luhak tersebut yang disebut Daerah Rantau. Rantau luhak Agam meliputi pesisir barat sejak Pariaman sampai Air Bangis, Lubuk Sikaping dan Pasaman; Rantau Luhak Lima Puluh Kota meliputi Bangkinang, Lembah Kampar Kiri dan Kampar Kanan dan Rokan; rantau Luhak Tanah Datar meliputi Kubung Tiga Belas, pesisir barat dari Padang sampai Indra Pura, Kerinci dan Muara Labuh. Wilayah Minangkabau asli ditambah Daerah Rantau itulah yang secara geografis meliputi seluruh wilayah propinsi Sumatera Barat dan sebagian wilayah propinsi Riau dan Jambi.

Nenek moyang suku bangsa Minangkabau berasal dari percampuran antara bangsa Melayu Tua yang telah datang pada zaman Neolitikum dengan bangsa Melayu Muda yang menyusul kemudian pada zaman Perunggu. Kedua bangsa ini adalah serumpun dengan bangsa Astronesia. Kelompok pengembara Astronesia yang meninggalkan kampung halamannya dibagian Hindia,menuju ke selatan mencari daerah baru untuk kehidupan mereka. Dalam rangka pencarian tanah baru itu, setelah mereka mendarat di pantai timur Sumatera, bergerak ke arah pedalaman pulau Sumatera sampai ke sekitar gunung Merapi. Karena di sana mereka telah mendapatkan tanah subur di lereng gunung Merap, mereka menetap dan membangun negeri pertama yaitu Pariangan Padang Panjang. Setelah kemudian mereka berkembang, maka berdirilah negeri-negeri di selingkungan gunung Merapi dang se aliran Batang Bengkaweh.

Nama Minangkabau berasal dari kata manang kabau yang menurut Tambo, ucapan itu muncul setelah kerbau milik kerajaan Pagaruyung yang dipimpin oleh Bundo Kanduang dapat memenangkan pertarungan melawan kerbau miliki musuh yang datang menyerang.

Menurut A.A Nafis cerita yang dikisahkan Tambo itu sangat dipercayai oleh orang Minangkabau sebagai peristiwa sejarah. Akan tetapi para penulis yang bukan orang Minangkabau pada umumnya tidak menerima asal nama Minangkabau seperti yang dikisahkan Tambo itu. Mereka umumnya lebih suka mencari sumbernya dari bahasa-bahasa yang hidup di India. Van de Tuuk umpamanya, mengatakan asal kata Minangkabau dari Phinang khabu yang artinya tanah asal. Muhammad Hussein Nainar mengatakan asal katanya menon khabu yang artinya tanah mulia. Dikemukakan juga bahwa kata itu berasal bahasa Srilangka “mau angka bahu” yang artinya memerintah.

Masuknya Islam

Menurut para ahli, Islam masuk dan berkembang di Minangkabau melalui tiga tahap:

  • Melalui para saudagar Islam yang berkunjung ke Minangkabau dan menyiarkannya secara diam-diam dan tidak terencana. Diperkirakan para pedagang Persia, Arab dan Gujarat telah banyak mendatangi Minangkabau pada abad ke VII atau awal abag ke VIII M.

  • Melalui penagaruh dan kekuasaan Aceh di pesisir barat Minangkabau yang menyiarkan agama agak terencana. Aceh adalah salah satu bagian pulau Sumatera yang lebih dulu masuk Islam. Pada abad ke XV M, seluruh pesisir barat Minangkabau telah berada di bawah pengaruh politik dan ekonomi Aceh. Pada masa itulah terjadi pengislaman secara besar-besaran dan terencana terhadap Minangkabau, dimulai dari daerah panati terus masuk ke pedalaman. Karena daerah pedalaman terletak di tempat yang lebih tingg, maka dalam pepatah adat dikatakan “syarak mandaki, adat manurun”. Maksudnya, agama menyebar dari daerah pesisir ke pedalaman, sedangkan adat dari daerah pedalaman ke pantai.

  • Melalui penguasa Minangkabau sendiri yang menyiarkannya secara teratur dan terencana. Hal ini terjadi setelah raja Anggawarman Mahadewa memeluk Islam dan menganti namanya denga n sultan Alif dan dengan demikian secara resmi Islam telah masuk Istana Pagaruyuang. Dengan berkuasanya Islam di istana raja, besar sekali penegaruhnya terhadap perkembangan Islam di Minangkabau dan diperkirakan pada abad ke XV M seluruh rakyat Minangkabau resmi memeluk agama Islam.

Perbenturan Adat dan Islam

Perbenturan yang berarti antara adat Minangkabu dengan Islam terjadi di bidang sosial, khususnya yang menyangkut sistem kekerabatan yang menentukan bentuk perkawinan, kediaman, dan pergaulan. Dalam sistem kekerabatan, adat Minangkabau bersifat matrilineal (menurut garis ibu), sedangkan Islam bersifat patrilineal (menurut garis bapak). Dalam menentukan tempat tinggal suami-istri, adat Minangkabau menganut sistem matrilokal (suami tinggal di rumah istri), sedangkan dalam Islam bersifat patrilokal (istri tinggal di rumah suami). Dalam adat Minangkabau, yang berkuasa dan bertanggung jawab dalam sebuah rumah tangga adalah ibu yang didampingi oleh mamak (saudara laki-laki ibu), sedangkan ayah hanya sebagai tamu. Sedangkan dalam Islam pemegang kekuasaan dan penanggung jawab dalam rumah tangga adalah ayah atau suami.

Penyesuaian antara adat dalam Islam dalam aspek yang disebutkan di atas berlangsung lama dan pelan-pelan dalam tiga tahap:

  • Adat dan syara’ berjalan sendiri-sendiri tanpa saling mempengaruhi. Dalam bidang aqidah dan ibadah masyarakat Minangkabau mengikuti Islam, dalam bidang sosial, adat masih diikuti. Tahap ini dinyatakan dalam ucapan “Adat basandi alua jo patuik, syara’ basandi dalil”.
  • Adat dan syara’ sama-sama saling membutuhkan tanpa menggeser kedudukan masing-masing. Tahap ini tercermin dalam pepatah “adat bsandi syara’, syara’ basandi adat”.
  • Adat hanya boleh diikuti dan diberlakukan bila bersesuaian dengan ajaran agama Islam. Tahap ini yang merupakan tahap terakhir tergambar dalam rumusan “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato, adat mamakai”.

Masalah warisan yang turun kepada pihak perempuan ditentang oleh beberapa orang. Misalnya Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, pelopor dan guru para pembaharu ajaran Islam di Minangkabau terkenal sebagai penentang keras sistem kewarisan adat Minangkabau. Hamka juga dikenal sebagai ulama yang kritis terhadap adat Minangkabau.

Dalam keunikan adat Minangkabau, perempuan menempati kedudukan istimewa. Sistem matrilineal, matrilokal dan sistem kewarisan menjadi bukti keistimewaan kedudukan kaum perempuan. Sekalipun kaum ibu memiliki kedudukan yang istimewa dalam rumah tangga dan juga harta pusaka, akan tetapi dia tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap rumah dan harta pusaka itu, karena kaum laki-laki seperti saudara laki-laki yang disebut mamak mempunyai hak pengawasan, apalagi dalam melakukan hubungan perdata dengan pihak lain, tidak dapat terlaksana tanpa seizin mamak. Semua tindakan terhadap harta pusaka, baik ke dalam maupun ke luar haruslah berdasarkan mufakat seluruh anggota laki-laki dan perempuan.

About admin

asrama mahasiswa sumatera barat merapi singgalang yogyakarta

Posted on 7 Agustus 2007, in Budaya. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar